News

Waspada Narasi Black Campaign Pilkada Gubernur Papua: Sebuah Ancaman bagi Papua, Gereja, dan Umat Tuhan

Oleh Marinus Mesak Yaung, Pendeta dan Dosen Uncen Jayapura-Papua

Jayapura- Black campaign, atau kampanye hitam, merupakan praktik yang dilarang keras, baik oleh Undang-Undang Pemilu Indonesia maupun oleh Alkitab sebagai Firman Tuhan. Undang-Undang Pemilu secara jelas mengatur bahwa peserta pemilu dilarang melakukan kampanye hitam, di mana pelanggarannya dapat dikenai hukuman penjara hingga 2 tahun dan denda maksimal 24 juta rupiah, sesuai dengan ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf C dan Pasal 521 Undang-Undang Pemilu.

UU Pemilu mendefinisikan black campaign sebagai tindakan penghinaan, diskriminasi agama, suku, ras, atau golongan terhadap calon atau peserta pemilu lainnya. Dalam konteks Pilkada Gubernur Papua, narasi seperti “saya anak adat Tabi-Saereri, saya anak injil, dan saya beragama Kristen,” yang digunakan untuk mendiskreditkan calon lain, jelas merupakan bentuk kejahatan pemilu yang merusak nilai-nilai demokrasi.

Sudah saatnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua mengambil sikap tegas untuk menegakkan hukum dan keadilan selama proses pemilu berlangsung. Teguran lisan dan tertulis harus segera diberikan kepada para calon yang terlibat dalam kampanye hitam. Jika teguran ini tidak diindahkan, calon tersebut harus dikenai sanksi hingga diskualifikasi dari proses pencalonan.

Komisioner Bawaslu dan KPU Provinsi Papua, yang terdiri dari warga Indonesia, baik dari Papua maupun luar Papua, serta yang berasal dari berbagai agama, termasuk Islam dan Kristen, harus membuktikan bahwa mereka dapat menjadi wasit yang adil dan tegas di tengah rivalitas dua calon peserta Pilkada Gubernur Papua.

Selain itu, keterlibatan tokoh-tokoh Gereja dalam mendukung kampanye hitam ini semakin memperburuk citra pemilu dan demokrasi di Papua. Berdasarkan standar Alkitab, tokoh-tokoh Gereja seharusnya bersikap adil dan non-diskriminatif terhadap kedua pasangan calon. Jika para tokoh Gereja dan aktivis Kristen mendukung kampanye hitam yang menggunakan narasi sektarian seperti “saya anak adat Tabi-Saereri, kamu bukan,” atau “saya Kristen, kamu Islam,” maka hal ini berpotensi memecah belah masyarakat, menghancurkan komunitas umat Tuhan dan Gereja, serta memicu kekerasan politik dalam Pilkada.

Dukungan terhadap kampanye hitam oleh tokoh-tokoh Gereja akan memuliakan iblis dan membuat Tuhan Yesus sedih. Yesus Kristus mati di kayu salib untuk semua umat manusia, bukan hanya untuk orang Tabi-Saereri atau umat Kristen semata. Jika Papua dikenal sebagai tanah Injil, maka tokoh Gereja dan umat Kristen seharusnya mendukung ajaran Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, di mana kita berdoa agar kehendak Tuhan terjadi di bumi seperti di surga, termasuk di tanah Papua.
Pilihan masyarakat Papua di Pilkada Gubernur 2024 hanya ada dua: menghadirkan neraka atau surga di Papua. Jika kita memilih gubernur berdasarkan suku, wilayah adat, atau agama, maka kita memilih menghadirkan neraka di bumi Papua. Namun, jika kita ingin surga hadir di tanah Papua, maka kita harus memilih berdasarkan ide, gagasan, rekam jejak karir, dan karya nyata calon, bukan berdasarkan politik sektarian yang akan merusak kohesi sosial masyarakat dan umat Tuhan.

Doa saya, semoga Pilkada Gubernur Papua 2024 melahirkan seorang pemimpin yang dapat menghadirkan surga di bumi Papua, menghapus air mata kemiskinan dan penderitaan orang Papua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *